Rabu, 11 Januari 2012

BENARKAH PELAYANAN PUBLIK BANDARA DAN MASKAPAI PENERBANGAN DOMESTIK INDONESIA MASIH JAUH DARI STANDART



Berbicara soal pelayanan transportasi publik penerbangan/ maskapai penerbangan, merupakan
hal yang sering kita dengar, dan kerap baca dalam kolom pengaduan atau kolom komentar dibeberapa media cetak di Indonesia bahkan mungkin sering dialami oleh kita, dan mungkin anda sendiri yang pernah alami sebagai para pengguna jasa penerbangan. Entah itu suasan dan kondisi dalam waiting room yang suasananya seperti diruang tunggu terminal bus, hal itu bisa dilihat dari banyaknya calon penumpang yang berada di ruang tunggu tersebut. Saking banyaknya, beberapa calon penumpang termasuk saya tak memperoleh kursi di ruang tunggu sehingga terpaksa duduk lesehan di lantai, ngelesot  tanpa alas. Dan bukan hanya sesama para calon penumpang dalam suatu tujuan, Bahkan yang kerap membuat kita sedikit kecewa adalah slogan dari pihak maskapai yang selalu melekat dengan kalimat "Now everyone can fly" ini. Let's see kondisi ruang tunggunya. Sudah begitu, jadwal keberangkatan pesawatnya tenyata molor. Para calon penumpang yang akan terbang dalam setiap tujuan tertentu, baru akan dipersilakan meninggalkan ruang tunggu bandara untuk menuju tempat parkir pesawat, misalnya waktu keberangkatan seharusnya sekitar pukul 19.30 WIB. Dapat dibayangkan, ternyata para calon penumpang harus rela menunggu delay selama 2 jam!!! Selama waktu itu para calon penumpang hanya bisa mondar-mandir sepanjang lorong ruang tunggu dan menghabiskan waktu dengan setiap fasiltas yang tersedia, seperti wifi-an. Dan mungkin karena delay yang begitu lama mereka juga, sebagai kompensasi untuk mengantisipasi rasa kecewa para calon penumpang - mereka pihak maskapai terkadang menyediakan makan dan snack. Di satu sisi pelayanan mereka baik dalam menyediakan konsumsi bagi penumpang tetapi di lain sisi mereka tak sanggup mengatasi apa penyebab problema dari penundaan penerbangan ini. Beberapa orang penumpang sudah menyatakan rasa kekecewaannya terhadap pegawai maskapai yang bersangkutan. Namun si pegawai hanya mampu mengatakan bahwa mereka mengakui memang sedang kekurangan armada pesawat. Dan terkadang pesawat yang harusnya akan digunakan calon penumpang yang sedang menunggu armadanya tersebut,  ternyata sedang dalam perjalanan dari tujuan lain menuju tujuan lainnya. Dan yang paling ironis lagi, adalah adanya pihak maskapai yang tidak perduli, dan mengabaikan setiap kekecewaan dari kurangnya standart pelayanan pihak bandara dan maskapai penerbangan di negeri ini, seperti kerap adanya pengabaian setiap calon penumpang yang memang sengaja ditinggalkan oleh pesawat yang sudah memang memiliki tiket resmi - oleh karena kesalahan teknis yang bukan disebabkan oleh sipenumpang melainkan kelalaian oleh pihak maskapai ataupun pihak bandara itu sendiri. Sehingga calon penumpang resmi tersebut jadi gagal dalam keberangkatan. Akibat awak maskapai pesawat tidak serius dalam mendata setiap calon penumpang yang harusnya masuk dalam daftar keberangkatan. Dan masih banyak lagi hal-hal yang sering terlihat dan kita dengar dari rendahnya standart pelayanan publik dari pihak bandara, dan maskapai penerbangan di negeri ini yang mengabaikan hak-hak, dari setiap calon penumpangnya. Hal ini memang " Sungguh Terlalu "


Pesawat terlambat tanpa penjelasan dari operator, maupun banyaknya kita dengar dalam  kasus-kasus lainnya menyangkut kurangnya perhatian pihak yang berewang terhadap standart pelayanan publik dalam wajah transportasi udara domestik di Negeri ini, sudah  seharusnya hal ini tidak perlu terjadi lagi apabila maskapai penerbangan konsekuen dalam penerapan Keputusan Menteri Perhubungan RI No.25 Tahun 2008 (KM No.25 Tahun 2008) tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, yang sudah mulai berlaku pada bulan Juni tahun 2008 lalu.

Dalam Keputusan Menteri tersebut, ada beberapa kewajiban dari pihak maskapai penerbangan untuk memberikan standart pelayanan yang proporsional - dan profesional  kepada setiap penumpang yang hubungannya dengan keterlambatan atau pembatalan jadwal penerbangan karena masalah dalam maskapai penerbangan sendiri. Kewajiban tersebut adalah :

1. Untuk keterlambatan, maskapai penerbangan harus memberikan kompensasi pada penumpang :
  • 30 – 90 menit, penumpang mendapatkan makanan kecil dan minuman.   
  • 91 – 180 menit, penumpang mendapatkan makanan ringan, minuman serta makanan (besar) dan melakukan pemindahan ke penerbangan/ maskapai lain apabila penumpang menginginkan dan memungkinkan untuk itu.
  • Lebih dari waktu diatas, maskapai harus memberikan akomodasi dan memprioritaskan penumpang bersangkutan untuk penerbangan hari
  • Jika penumpang memutuskan tidak jadi berangkat karena keterlambatan/ pembatalan tersebut, maskapai harus mengembalikan harga tiket sesuai harga pembelian.
2. Untuk pembatalan penerbangan, penumpang sudah harus diberitahukan setidaknya 45 menit sebelum jadwal, baik melalui SMS, Telepon dan media lainnya.
  
Apabila anda tidak memperoleh layanan seperti yang diuraikan diatas, anda dapat menghubungi hotline pengaduan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara melalui SMS di nomor 08111004222 atau lewat email hubud@dephub.go.id atau mengisi formular online pada website Ditje Hubud di www.hubud.dephub.go.id atau pada penyedia jasa Bandar Udara.

Langkah-Langkah Koordinasi sehubungan seringnya Delay.

Dengan tingginya frekuensi keterlambatan oleh maskapai akhir-akhir ini, maka pemerintah memutuskan untuk menetapkan sanksi delay. Komisi V DPR dalam rapat dengar pendapat dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Dephub beberapa waktu lalu sepakat perlunya penyusunan sanksi baku kepada maskapai untuk setiap keterlambatan akibat faktor eksternal.
Menurut Direktur Angkutan Udara Dephub Tri Sunoko, umumnya operator menyebut faktor eksternal sebagai penyebab paling sering keterlambatan penerbangan. Menyangkut faktor eksternal ini, maskapai hanya menyebutkan keterlambatan diakibatkan kondisi cuaca dan permasalahan di bandara. Tidak dijelaskan bandaranya kenapa, apa karena masalah check in penumpang yang sering antre atau proses pemeriksaan penumpang yang makan waktu.
Dalam upaya menjawab ketidakjelasan ini, Dephub meminta maskapai menyampaikan ulang informasi keterlambatan secara detail.Direktur Angkutan Udara Dephub Tri Sunoko menambahkan, kewajiban maskapai memberi kompensasi kepada setiap penumpang hanya berlaku pada keterlambatan mulai 30 menit dengan faktor penyebab eksternal. Rencana penyusunan sanksi ini akan ditetapkan melalui revisi KM No81/ 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Sejumlah maskapai yang telah menyampaikan informasi tersebut di antaranya PT Garuda Indonesia (Garuda), PT MerpatiNusantara Airlines (Merpati), PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), Mandala Airlines, PT Adam Sky- Connection Airlines (Adam- Air),Wings Air, Batavia Air, Sriwijaya Air, AirAsia,Trigana Air Services, Ekspress Air, dan Riau Airlines.
Revisi diperlukan karena KM tersebut tidak mengatur penetapan sanksi kepada maskapai jika terjadi keterlambatan penerbangan. Namun, Undang-Undang (UU) Penerbangan yang saat ini revisinya masih dibahas Komisi V DPR pun tidak mengatur secara jelas soal sanksi delay. Peraturan pemerintah (PP) dari UU tersebut hanya mengatakan, maskapai wajib membayar ganti rugi sebesar Rp1 juta kepada penumpang jika terjadi delay. Tetapi, tidak disebutkan dalam kondisi seperti apa ganti rugi tersebut harus diberikan.
”Penetapan ganti rugi harus jelas penyebabnya, jangan sampai karena kita asal menetapkan kita malah dituntut maskapai,” kata Direktur Angkutan Udara Dephub Tri Sunoko. Dalam revisi KM nanti, salah satu usulan bentuk kompensasi yang harus diberikan maskapai adalah menginapkan penumpang jika terjadi keterlambatan di atas empat jam. Dengan catatan, sambungnya, delay disebabkan faktor internal dan di hari itu tidak ada penerbangan lanjutan.
Penumpang pesawat di negeri ini pasti sudah terbiasa dengan keterlambatan jadwal maskapai penerbangan dalam negeri. Keterlambatan penerbangan sudah pasti merugikan penumpang. Akan tetapi, hal terpenting dari keterlambatan penerbangan adalah rusaknya citra penerbangan nasional yang  berusaha untuk memperbaiki diri.
Contoh teranyar peristiwa keterlambatan penerbangan terjadi pada 4 September 2010, di mana pesawat Garuda Indonesia (GA 222) jurusan Jakarta-Solo tertunda keberangkatanya sekitar 10-20 menit dikarenakan menunggu putra bungsu Presiden SBY, Edi Baskoro Yudhoyono (Ibas) beserta rombongan. Padahal penumpang lain sudah berada dalam pesawat (on board). Tindakan Garuda Indonesia tersebut tentu saja telah merugikan hak penumpang lainnya serta dapat dianggap melanggar tujuan penyelenggaraan penerbangan yang tertib dan teratur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3(a) UU No.1/2009.
Atas sering terjadinya perihal keterlambatan penerbangan, maka ada beberapa hal yang perlu dipahami lebih lanjut mengenai keterlambatan penerbangan, baik dalam hukum internasional maupun nasional. Permasalahan yang akan coba dibahas adalah :
  1. Bagaimana pengaturan keterlambatan penerbangan dalam hukum internasional dan nasional?
  2. Apakah hak-hak yang dimiliki oleh penumpang apabila mengalami keterlambatan penerbangan?
Perihal Keterlambatan Penerbangan dalam Hukum Internasional
Dalam hukum penerbangan internasional, angkutan udara niaga dapat dibagi dua jenis yaitu; berjadwal dan tidak berjadwal. Perbedaan mencolok diantara kedua jenis angkutan udara niaga tersebut adalah keteraturan atas rute dan jadwal (time table). Pada angkutan udara niaga berjadwal, penyelenggara penerbangan (maskapai) dan penumpang sama-sama terikat dalam perjanjian perihal kepatuhan atas rute dan jadwal penerbangan yang telah ditentukan oleh maskapai. Alat bukti dari adanya hubungan perjanjian tersebut adalah tiket. Hal yang berbeda berlaku untuk angkutan udara niaga tidak berjadwal, di mana rute dan jadwal penerbangan ditentukan oleh penumpang.
Secara yuridis, dampak dari kelalaian angkutan udara niaga berjadwal memenuhi kewajibanya akan menimbulkan tanggung jawab bagi dirinya. Dalam hukum internasional, perihal tanggung jawab atas keterlambatan diatur dalam Pasal 19 Konvensi Montreal tahun 1999 tentang Unifikasi Beberapa Ketentuan Mengenai Angkutan Udara Internasional (Convention for The Unification of Certain Rules for International Carriage by Air). Ketentuan tersebut mengatur bahwa angkutan udara niaga bertanggungjawab atas kerugian yang dialami oleh penumpang atas keterlambatan penerbangan. Tentu saja pihak pengangkut tidak dibebani tanggung jawab apabila keterlambatan dilakukan guna menghindari keselamatan penumpang
“The carrier is liable for damage occasioned by delayed in carriage by air of passengers, baggage or cargo. Nevertheless, the carrier shall not be liable  for damage occasioned by delay if it proves that it and its servants and agents took all measures that could reasonably be required to avoid damage or that it was impossible for it or them to take such measures.”
Pengaturan perihal tanggung jawab pengangkut atas keterlambatan dalam Pasal 19 Konvensi Montreal tahun 1999 merupakan perbaikan dari Konvensi Warsawa 1929 atas pasal yang sama. Perbaikan yang dilakukan dalam Konvensi Montreal 1999 adalah dengan memasukan batas tanggung jawab pengangkut atas keterlambatan dalam satu pasal sehingga ragam penafsiran atas keterlambatan yang terdapat dalam Konvensi Warsawa 1929 dapat dihindari.
Pengertian terlambat dalam hukum udara internasional menghasilkan beberapa tafsir.   Setidaknya ada tiga tafsir yang berkembang mengenai istilah terlambat sejak Konvensi Warsawa 1929:
  1. Kelambatan  terjadi selama penumpang, bagasi atau kargo dalam penerbangan.
  2. Kelambatan terjadi apabila telah memasuki masa tertentu yaitu embarkasi dan disembarkasi
  3. Kelambatan berarti keseluruhan pengangkutan penumpang, bagasi atau kargo tidak sampai di tempat tujuan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan terlepas dari sebab terjadinya kelambatan tersebut
Dalam praktek, diantara ketiga tafsir tersebut yang menjadi acuan pada kasus-kasus keterlambatan adalah tafsir yang ketiga. Hal ini diakui oleh salah satu pakar hukum udara internasional, yaitu Mankiewicz. Beliau juga menyatakan bahwa perihal keterlambatan penerbangan sangat jelas yakni ketika penumpang, bagasi dan kargo tidak sampai pada tempat tujuan pada tanggal dan jam yang tercantum secara tegas di dalam jadwal (time-table) pengangkut.
Tafsir terhadap Konvesi Warsawa 1929 tersebut dapat digunakan untuk menafsir Pasal 19 Konvensi Montreal 1999. Penulis berpendapat demikian karena dibuatnya Konvensi Montreal 1999 merupakan perbaikan atas beberapa hal dalam Konvesi Warsawa 1929. Pada pasal yang sama pun Konvensi Montreal 1999 hanya menambahkan bentuk tanggung jawab yang dibebankan kepada pengangkut. Dengan demikian, definisi keterlambatan dalam Pasal 19 Konvensi Montreal 1999 terjadi apabila penumpang, bagasi dan kargo tidak sampai pada tujuan yang tertera dalam jadwal penerbangan yang telah ditentukan oleh pengangkut.
Pengertian kerugian atas keterlambatan penerbangan ditafsirkan dari kata “damage” yang terdapat dalam Pasal 19 Konvensi Warsawa 1929 dan Konvensi Monteral 1999. Istilah “damage” diartikan sebagai kerugian yang menyeluruh (baik tubuh atau mental). Akan tetapi, tafsir tersebut menjadi tepat jika dikaitkan dengan teks konvensi yang berbahasa Perancis yang berbunyi “du dommage”. Hal ini menurut Endang Syaifullah karena dalam sistem hukum Perancis, semua bentuk kerugian dapat diberikan santunan, berbeda halnya dengan sistem hukum Anglo-Saxon.
Jika mengacu pada Konvensi Montreal 1999, Pasal 19, maka dapat dilihat bahwa tidak semua keterlambatan penerbangan dapat dibebankan kepada penyelenggara penerbangan. Setidaknya ada dua hal yang harus terpenuhi agar penyelenggara penerbangan dapat terlepas dari tanggung jawab atas keterlambatan, yaitu :
  1. Penyelenggara penerbangan telah melakukan segala hal untuk menghindari kerugian atas keterlambatan tersebut
  2. Keterlambatan tersebut memang tidak dapat dihindari dikarenakan hal tertentu
Namun, Konvensi Montreal 1999 tidak menjelaskan secara detail apa yang dimaksud bahwa penyelenggara penerbangan telah melakukan segala hal dan hal tertentu yang tidak dapat dihindari tersebut. Menurut penelitian Endang Saefullah Wiradipradja atas beberapa kasus keterlambatan penerbangan maka penyelenggara penerbangan bertanggungjawab atas keterlembatan penerbangan jika:
  1. melakukan pembatalan atau penangguhan
  2. kerusakan mesin pesawat
  3. over-booking
  4. pemogokan awak pesawat
  5. lalai dalam reservasi
  6. salah memberi informasi kepada penumpang tentang waktu pemberangkatan
  7. lalai untuk berhenti di tempat tujuan para penumpang
  8. adanya penyimpangan atau penambahan tempat-tempat pemberhentian yang tidak sesuai dengan time-table
Pihak penyelenggara penerbangan terbebas dari tanggung jawab apabila keterlambatan tersebut dilakukan untuk alasan-alasan keamanan dan kejahatan. Berdasarkan bunyi ketentuan Pasal 19 Konvensi Montreal 1999 maka prinsip tanggung jawab yang dianut dalam hal keterlambatan adalah Prinsip Tanggung Jawab atas Dasar Praduga (Presumption of Liability) di mana yang dibebani pembuktian adalah pihak penyelenggara penerbangan.
Tanggung jawab yang dibebankan kepada pengangkut perihal keterlambatan menurut Pasal 22 (1) Konvensi Montreal 1999 dibatasi maksimum sebesar 4150 Special Drawing Rights (SDR) IMF. SDR merupakan standar keuangan yang dibuat oleh International Monetary Fund (IMF). Hukum Udara Internasional mulai mengganti jumlah santunan dari mata uang “gold franc” menjadi SDR sejak diterimanya empat Protokol Monteral 1975.
Berdasarkan nilai tukar yang dilansir oleh IMF pada 6 Oktober 2010 bahwa 1 SDR= 0,632 US$. Dengan demikian, batas maksimum tanggung jawab pengangkut atas keterlambatan menurut Konvensi Monteral 1999 sebesar US$2.622 atau setara Rp. 23.598.000 (asumsi kurs rupiah Rp.9000).
Kompensasi tersebut dianggap terlalu besar oleh kalangan maskapai penerbangan. Atas alasan itulah Amerika Serikat tidak membuat pengaturan khusus yang membebani maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayahnya untuk membayar kompensasi atas keterlambatan. Dalam dunia penerbangan Amerika Serikat, tanggung jawab perihal keterlambatan penerbangan tetap ada namun atas inisiatif dari maskapai itu sendiri sebagai bagian dari pelayanan kepada penumpang.
Hal yang berbeda terjadi pada dunia penerbangan Uni Eropa. Berdasarkan aturan Parlemen Uni Eropa (EC 261/2004) maka maskapai penerbangan bertanggungjawab atas keterlambatan yang terjadi kepada penumpang. Akan tetapi batas maksimum yang dibebankan kepada maskapai hanya mengembalikan tiket menjadi uang  atau mengalihkan ke penerbangan lain (rerouting) (Pasal 8).
Perihal Keterlambatan Penerbangan dalam Hukum Indonesia
Sejak merdeka tahun 1945 dari Belanda, Indonesia belum memiliki UU Penerbangan yang dibuat sendiri. Adapun pengaturan perihal penerbangan masih mengacu pada produk kolonial, yaitu Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 (Luchtvervoer-ordonantie). Ordonansi 1939 sebenarnya diperuntukkan bagi angkutan udara domestik yang sebagian besarnya mengacu pada Konvensi Warsawa 1929.
Persoalan keterlambatan sendiri diatur dalam Pasal 28 Ordonansi 1939 yang berbunyi:
“Apabila tidak ada perjanjian lain, pengangkut bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi atau barang.”
Jika dilihat sekilas akan terlihat bahwa ketentuan tersebut berusaha untuk melindungi kepentingan penumpang atas keterlambatan penerbangan. Namun, apabila dibaca secara kritis, kalimat awal ketentuan tersebut dapat menghindarkan pengangkut dari tanggung jawab keterlambatan. Cara yang dilakukan oleh pengangkut biasanya dengan membuat klausul baku yang dicantumkan dalam tiket yang lazimnya menyebutkan bahwa pengangkut tidak bertanggungjawab atas keterlambatan penerbangan.
Dengan adanya ketentuan tersebut dalam tiket maka dapat dianggap bahwa penumpang telah menyetujui persyaratan yang diajukan oleh pengangkut perihal keterlambatan penumpang. Hal ini dapat terjadi sebab tiket dalam hukum penerbangan internasional bernilai sebagai alat bukti dari adanya suatu perjanjian. Tindakan yang dilakukan oleh pengangkut tersebut bertentangan dengan hukum udara internasional karena pengangkut berusaha melepaskan tanggung jawabnya.
Pada titik itulah Ordonansi 1939 terlihat tidak tegas. Padahal dalam Pasal 32 disebutkan bahwa apabila terdapat ketentuan bersyarat yang meniadakan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan maka ketentuan tersebut batal, akan tetapi anehnya tidak membatalkan perjanjian. Hal ini sama saja bahwa Ordonansi 1939 memberikan peluang kepada maskapai untuk tidak bertanggungjawab atas keterlambatan sebab telah terjadi suatu perjanjian antara maskapai dan penumpang yang dapat dibuktikan dari tiket
Oleh karena perkembangan angkutan udara yang semakin pesat serta ketentuan-ketentuan  dalam produk hukum penerbangan peninggalan kolonial yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional maka pemerintah akhirnya membuat Undang-Undang Penerbangan No.83 tahun 1958.
Akan tetapi, karena dibuat dalam keadaan sosial-politik yang bergejolak maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut sangat terbatas. Keterbatasan itu dapat dilihat dengan tidak diaturnya mengenai perihal keterlambatan. Hal ini dapat dipahami karena materi penting yang diperlukan saat itu adalah bagaimana membuat dunia penerbangan menjadi aman serta melindungi kedaulatan udara republik.
Pengaturan yang lebih komprehensif tentang penerbangan akhirnya terdapat dalam UU No. 15 tahun 1992 tentang penerbangan yang proses awalnya dimulai sejak 1977 melalui seminar tentang hukum pengangkutan udara yang digagas oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Lahirnya UU No.15 tahun 1992 mengakhiri berlakunya UU No.83 tahun 1958. Akan tetapi tidak mengakhiri berlakunya Ordonansi 1939 selama tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU No.15 tahun 1992.
Ketentuan perihal keterlambatan penerbangan dalam UU No.15 tahun 1992 diatur dalam Pasal 43 ayat 1 (c) yang berbunyi :
“Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga bertanggungjawab atas :
(a)….
(b)….
(c) Keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.”

Jika melihat redaksional ketentuan di atas maka dapat dibaca bahwa ketentuan tersebut serupa dengan Pasal 19 Konvensi Montreal 1999. Jika timbul pertanyaan, bagaimana mungkin meniru Konvensi Monteral 1999 sedangkan UU itu berlakunya tahun 1992?. Perlu diingat, bahwa Konvensi Montreal 1999 merupakan revisi dari Konvensi Warsawa 1929. Perbedaan  ketentuan keterlambatan antara Konvensi Warsawa 1929 dengan Konvensi Montreal 1999 adalah dalam Konvensi Warsawa 1929 batas tanggung jawab maskapai terdapat dalam pasal yang terpisah dengan ketentuan kewajiban maskapai untuk bertanggung jawab sedangkan dalam Konvensi Montreal 1999 ketentuan tersebut diatur dalam satu pasal.
Penulis memandang penting menuliskan paragraf di atas karena untuk melihat bahwa para ahli hukum kita ternyata telah memulai lebih dahulu untuk memasukan tanggung jawab pengangkut beserta batasnya dalam satu pasal perihal keterlambatan.
Pengaturan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut perihal keterlambatan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 40 tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Dalam Pasal 42 poin (c) disebutkan jika terjadi keterlambatan atas kesalahan pengangkut maka perusahaan pengangkut bertanggung jawab atas keterlambatan itu. Dengan demikian, menurut Pasal 41 ayat 2, perusahan pengangkut memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan yang layak kepada penumpang atau memberikan ganti rugi atas kerugian yang secara nyata dialami oleh penumpang atau pemilik barang. Dalam penjelasan Pasal 41 ayat 2 dinyatakan bahwa pelayanan yang layak berupa penyediaan tempat dan konsumsi bagi penumpang selama menunggu sesuai kemampuan maskapai serta mengalihkan ke perusahaan pengangkut lain berdasarkan perjanjian pengangkutan yang disepakati.
Peraturan teknis yang juga mengatur tentang keterlambatan juga tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 25 tahun 2008 tentang Penyelenggaran Angkutan Udara yang menggantikan KM 81 tahun 2004. Tanggung jawab pengangkut atas keterlambatan diatur dalam Pasal 36 dan 37.
Pasal 36 berbunyi :
“Kewajiban pengangkut untuk keterlambatan karena kesalahan pengangkut tidak membebaskan perusahaan angkutan udara niaga berjadwal terhadap pemberian kompensasi kepada calon penumpang dalam bentuk:
  1. Keterlambatan lebih dari 30 menit sampai dengan 90 menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman dan makanan ringan.
  2. Keterlambatan 90 menit hingga 180 menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman dan makanan ringan, makan siang atau malam dan memindahkan penumpang ke penerbangan berikutnya atau ke perusahaan angkutan udara niaga berjadwal lainnya apabila diminta oleh penumpang
  3. Keterlambatan lebih dari 180 menit, perusahaan angkutan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman dan makanan ringan, makan siang atau malam dan apabila penumpang tersebut tidak dapat dipindahkan ke penerbangan berikutnya atau ke perusahaan angkutan udara niaga berjadwal lainnya, maka kepada penumpang tersebut wajib diberikan fasilitas akomodasi untuk dapat diangkut pada penerbangan hari berikutnya.
  4. Apabila terjadi pembatalan penerbangan…
  5. Apabila dalam hal keterlambatan sebagaimana huruf b dan c serta pembatalan sebagaimana huruf d, penumpang tidak mau terbang/menolak diterbangkan maka perusahaan angkutan udara niaga berjadwal harus mengembalikan harga tiket yang telah dibayarkan ke perusahaan.
Sedangkan dalam Pasal 37 diatur kewajiban pengangkut untuk mengumumkan langsung kepada penumpang atau melalui media mengenai alasan terjadinya keterlambatan selambat-lambatnya 45 menit sebelum jadwal keberangkatan atau sejak pertama kali diketahui adanya keterlambatan.
Jika mengacu pada Pasal 43 ayat 1 (c) UU No. 15 tahun 1992 jo Pasal 41 ayat 2 dan Pasal 42 PP No. 40 tahun 1995 jo Pasal 36-37 KM 25 tahun 2008 maka terlihat bahwa hak konsumen atas kerugian yang diderita karena keterlambatan penerbangan sudah diakomodir. Namun, ada beberapa hal yang dapat dikritisi.
Pertama, berdasarkan ketiga ketentuan di atas, ternyata belum diatur secara detil bentuk ganti rugi  angkutan udara niaga atas keterlambatan. Undang-undang menyebutkan bahwa angkutan udara niaga bertanggungjawab atas keterlambatan tapi tidak menyebutkan bentuknya. Dalam PP coba diperinci bahwa tanggung jawab pengangkut atas keterlambatan berupa pelayanan yang layak serta ganti rugi. Pengertian pelayanan yang layak sudah dijelaskan secara sederhana dalam bagian penjelasan PP yang kemudian dalam KM 25 tahun 2008 diperinci lagi. l
Bentuk kompensasi ganti rugi luput untuk dijelaskan secara khusus oleh ketiga instrumen tersebut. Apabila kita mengacu pada ketentuan internasional maka bentuk tanggung jawab angkutan udara niaga berjadwal atas keterlambatan tidak hanya meliputi ganti rugi materi akan tetapi juga non-materi. Hal ini juga disuarakan oleh Endang Saifullah Wiradipradja. Menurut pendapat beliau, bahwa hukum Indonesia juga harus melingkupi kerugian tubuh (materi) dan mental (non materi). Asumsi tersebut didasarkan atas tiga hal :
  1. Faktor Sejarah. Bahwa hukum perdata kita berasal dari hukum Belanda dan hukum Belanda berasal dari Hukum Perancis
  2. Dalam KUHP sebenarnya secara tegas diakui adanya hak untuk meminta santunan atas kerugian mental (moral damage)
  3. Hukum Adat setiap kerugian yang diderita baik bersifat material maupun yang bersifat bukan material merupakan gangguan atas keseimbangan masyarakat hukum adat.
Kedua, angkutan udara niaga berjadwal bertanggung jawab perihal keterlambatan apabila terbukti melakukan kesalahan. Jika menggunakan penafsiran a contrario maka apabila tidak terbukti melakukan kesalahan, angkutan udara niaga berjadwal tidak bertanggungjawab. Kelemahan dari ketiga peraturan di atas adalah tidak membuat kategorisasi apa yang termasuk kesalahan angkutan udara niaga berjadwal dan apa yang tidak. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak terjadi kesalahan tafsir perihal tanggung jawab angkutan udara niaga berjadwal.
Pada titik inilah Pasal 146 UU No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan berusaha untuk melengkapi. Dalam ketentuan tersebut, unsur kesalahan disebutkan secara tegas yaitu bahwa pengangkut tidak bertanggungjawab apabila keterlambatan disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional. Kemudian, dalam bagian penjelasannya disebutkan kategorisasi yang termasuk faktor cuaca dan teknis operasional.
Faktor cuaca yang dimaksud adalah hujan lebat, petir, kabur, badai, asap, jarak pandang di bawah standar minimal atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan.
Teknis operasional diartikan sebagai:
  1. Bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara
  2. Lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir atau kebakaran
  3. Terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take-off) mendarat (landing) atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara
  4. Keterlambatan pengisian bahan bakar (refueling)
Sedangkan keterlambatan pilot, ko-pilot, awak kabin, katering, penanganan di darat (ground handling), menunggu penumpang yang check-in, transfer, penerbangan lanjutan (connecting flight) serta kesiapan pesawat udara tidak dapat dikategorikan teknis operasinoal.
Meskipun berusaha untuk memperjelas unsur kesalahan maskapai perihal keterlambatan, ketentuan Pasal 146 UU No.1 tahun 2009 perlu diperjelas lagi dengan mengeluarkan peraturan pelaksanaan (teknis) sebab ketentuan PP No. 40 tahun 1995 serta KM No. 25 tahun 2008 sudah tidak memadai lagi. Selain agar terjadi persamaan tafsir, pembuatan peraturan pelaksanaan juga merupakan amanah undang-undang itu sendiri (Pasal 452).
Dalam praktik pengadilan nasional, perihal tanggung jawab angkutan udara niaga berjadwal atas keterlambatan pernah terjadi. Kasus tersebut terjadi antara David L Tobing vs PT Lion Mentari Airlines (Lion Air) pada tahun 2007. Kasus terebut bermula ketika penggugat pada 16 Agustus 2007 menggunakan jasa Lion Air ke Surabaya. Akan tetapi, setelah menunggu lebih dari 90 menit dan tak ada kejelasan waktu keberangkatan, maka David memutuskan untuk membeli tiket pesawat lain. Lucunya, tidak ada penjelasan resmi atas delay atau keterlambatan yang dilakukan Lion Air.
Dalam persidangan, pihak Lion Air berdalih keterlambatan terjadi karena alasan teknis sehingga pesawat terpaksa di-grounded pada 15 Januari 2007. Lion Air juga berlindung di balik faktor cuaca dan kondisi bandara yang tidak kondusif untuk keselamatan penerbangan. Jika pesawat tergugat di-grounded pada 15 Januari 2007, tergugat seharusnya bisa memprediksi apakah pesawat yang sedang diperbaiki itu bisa digunakan pada 16 Januari 2007 atau tidak. Jika tidak dapat digunakan, tergugat seharusnya menyiapkan pesawat pengganti. Tapi ini tidak dilakukan. Akhirnya, majelis hakim memutuskan bahwa pihak Lion Air bersalah dan harus mengganti kerugian sebesar Rp. 781.000,00 (Kasus ini disalin dari www.hukumonline.com)
Putusan tersebut menurut penulis sudah sesuai dengan ketentuan yang ada dengan peraturan yang ada.
Kasus kedua yang menurut penulis paling menarik adalah pada peristiwa keterlambatan Garuda Indonesia (GA 222) tujuan Jakarta-Solo karena menunggu Putra Presiden RI, Ibas beserta rombonganya (baca tulisan di awal). Meski tidak ada yang melakukan gugatan kepada pihak Garuda Indonesia, kasus tersebut perlu diperhatikan oleh pihak regulator karena hal ini terkait citra penerbangan nasional.
Hal yang perlu diperhatikan dalam kasus tersebut adalah: Pertama, ketentuan dalam KM No.25 tahun 2008 yang membatasi definisi keterlambatan. Dalam Pasal 36 KM No. 25 tahun 2008, definisi keterlambatan apabila telah melampaui waktu 30 menit. Menurut pendapat penulis, aturan ini sangat merugikan penumpang dan sangat tidak berdasar. Dalam penjelasan di atas, perihal keterlambatan dalam hukum udara internasional terjadi apabila jadwal yang tertera dalam tiket tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi, tidak bisa didefinisikan keterlambatan  jika telah melampaui waktu minimal 30 menit.
Pendapat tersebut penulis peroleh karena dalam pengangkutan udara faktor pelayanan terhadap penumpang sangat diutamakan. Namun perlu diingat, di satu sisi  juga jangan sampai merugikan industri penerbangan nasional. Oleh karena itu, ke depanya, KM No.25 tahun 2008 perlu direvisi dengan tidak membatasi definisi keterlambatan apabila melampaui 30 menit , toh kepentingan pengangkut sendiri sudah terlindungi dalam Pasal 146 UU No. 1 tahun 2009.
Kedua, persoalan keterlambatan ini juga terkait citra penerbangan nasional. Kedepannya, pihak regulator juga harus memberikan sanksi administratif apabila ternyata pengangkut melakukan kesalahan yang mengakibatkan keterlambatan secara terus-menerus. Ada semacam batas minimal kesalahan. Hal ini perlu dilakukan untuk menaikkan pamor pengangkut nasional di mata pengguna jasa. Apabila dalam rangka menghadapi pasar bebas maka pengangkut nasional perlu dibenahi sebagai bagian pembinaan untuk terciptanya industri penerbangan yang kuat.

By : Ragam Sumber